Kami Mulai Screen Time sejak 6 Bulan, Hasil Nyatanya Begini
- Authors
- Name
- Samsul Hadi
- Threads
- @Threads


Hot take: kami mulai kenalin screen time yang diawasi sejak anak usia 6 bulan, dan kami nggak menyesal. Bukan karena layarnya ajaib, tapi karena kami selalu ikut: duduk di samping, ngajak ngobrol, nunjuk benda, dan langsung praktik gerakannya.
Kenapa Kami Coba
Banyak artikel bilang: anak kecil sebaiknya minim layar. Setuju, kalau layarnya dipakai sebagai “pengasuh”. Tapi di rumah, situasinya sederhana: kami butuh waktu buat beberes/masak, anak butuh stimulasi. Jadi kami ambil jalan tengah: video pendek, konten aman, durasi jelas, dan selalu ditemani.
Buat kami, TV/HP itu cuma alat bantu, bukan hiburan asal-asalan. Targetnya: memantik kosakata, imitasi gerak, dan ngobrol dua arah, bukan bikin anak bengong.
Aturan Main di Rumah Kami
- Pilih konten sendiri: video pendek, tanpa autoplay, bebas iklan.
- Selalu dampingi (co-viewing): kami ikut nonton, ulang kata, nunjuk benda, ajak anak jawab.
- Durasi singkat & terjadwal: lebih baik 5–15 menit fokus daripada lama tapi kebablasan.
- Bukan penenang darurat: layar dimatikan saat makan, jelang tidur, atau saat rewel/tantrum.
- Sehat buat mata: jarak nonton wajar, ruangan cukup terang, dan ada jeda.
Apa yang Kami Tonton & Cara Prakteknya
Channel yang cocok di rumah kami:
- Kinderflix (Indonesia): kosakata harian, aktivitas sederhana, tempo tenang.
- Ms Rachel (Inggris): pelafalan jelas, banyak call-and-response, bahasa tubuh kuat.
Tips co-viewing: kalau video bilang “dadah”, kami ikut melambaikan tangan. Kalau “jump”, kami lompat bareng. Ulang kata, tunjuk benda asli di rumah (“ini hidung”, “ini sepatu”), lalu sambungkan ke rutinitas (“ayo beres-beres”, “simpan mainan”).
Hasil Positif yang Kami Rasakan
- Kosakata nambah terus, hampir tiap minggu ada kata baru—dari “bola”, “duduk”, sampai nama hewan & warna.
- Respons makin cepat: ditanya “mana hidung?” atau “ayo dadah”, langsung nunjuk/sapa tanpa diulang berkali-kali.
- Imitasi gerak makin kaya: lompat kecil, tepuk tangan, tiup lilin pura-pura, beresin mainan kebentuk karena video selalu kami praktikkan bareng.
- Fokus pendek tapi mantap: 5–10 menit bisa duduk, ikut instruksi sederhana, lalu lanjut main tanpa layar.
- Transisi harian lebih mulus: ada “ritual” nonton-main-beres, jadi pindah aktivitas nggak drama.
- Bonding dapat: karena kami ngobrol dan ketawa bareng—bukan anak “ditontonin”, tapi main bareng pakai layar sebagai cue.
- Rasa ingin tahu ke dunia nyata: habis nonton hewan, dia minta lihat buku hewan, cari boneka, atau nunjuk yang mirip saat jalan-jalan.
Contoh kecil yang kerasa:
- Dulu babbling; sekarang sudah jawab “iya/nggak” dan menirukan kata pendek.
- Dulu dadah kalau disuruh; sekarang sering inisiatif sapa orang duluan.
- Dulu layar kayak “acara utama”; sekarang video cuma pemantik sesi, main offline-nya yang lebih panjang.
Catatan: ini murni pengalaman keluarga kami, tiap anak beda ritmenya. Kalau anak terlihat kurang nyaman (rewel, sulit tidur, terlalu kebawa), kami istirahat dan ganti ke aktivitas tanpa layar.
Risiko & Rambu-rambu
Screen time bisa berdampak kurang baik kalau tanpa pendampingan: overstimulasi, konten nggak sesuai, jam tidur kegeser, kurang gerak. Makanya kami jaga:
- Katalog konten: daftar video pendek, non-autoplay, dan kami tonton dulu.
- Ritual sehat: tidur cukup, main aktif di luar, baca buku, banyak waktu tanpa layar.
- Check-in rutin: kalau anak capek/rewel/terlalu excited, stop dulu.
Contoh Rutinitas Mingguan
- Senin–Jumat: 10–20 menit co-viewing, lanjut permainan offline bertema video (tebak hewan, tunjuk anggota tubuh).
- Akhir pekan: 15–30 menit sesi keluarga: bernyanyi, gerak bareng, ulang kosakata.
Penutup
Buat kami, layar hanyalah alat bantu. Orang tualah yang bikin momen belajarnya jadi berarti. Kalau pendekatan ini kurang cocok buat keluarga kamu, itu sah-sah aja. Pilih yang paling sehat untuk anak dan ritme rumah kamu.
Disclaimer: Ini pengalaman pribadi, bukan saran medis. Konsultasikan rencana screen time dengan tenaga kesehatan anak Anda.